Billy Budiman, mahasiswa berusia 19 tahun, mampu mencetak untung (gain) sekitar 4.000% di bursa saham. Saat ini, Billy kuliah di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) jurusan manajemen. Billy juga bekerja di PT Batavia Prosperindo Sekuritas.
Meski masih muda, penggemar sepakbola itu menduduki jabatan penting sebagai head of technical analyst & private fund manager.
Belum lama ini, Billy berhasil memecahkan rekor dunia. Dia lulus tes Chartered Market Technician (CMT) 1 yang digelar oleh MTA (Market Technician Association). CMT adalah salah satu lisensi untuk menjadi analis teknikal di dunia, khususnya Wall Street. Billy juga menyabet gelar Asian Youngest Professional Stock Analyst pada 2010. Sedangkan pada 2009, dia menyandang gelar Indonesian Economy Icon.
Pria yang bercita-cita menjadi manajer investasi global itu mengaku punya tiga kunci sukses selama berinvestasi di bursa saham. Dia selalu fokus pada manajemen dana (money management), pemilihan saham (stock screening), dan strategi keluar masuk (entry exit strategy). “Money management berguna untuk melindungi portofolio dari kerugian, sedangkan entry exit strategy jelas sebagai panduan dalam trading,” ujar Billy kepada Investor Daily di Jakarta, belum lama ini.
Billy menyarankan kepada para pemodal, terutama pemula, untuk membeli saham-saham blue chip. Sebab, emiten yang memiliki
saham-saham blue chip terbukti konsisten mencetak kenaikan laba bersih sebesar 25% setiap tahun. Setelah itu, menurut dia, para pemodal bisa menggunakan analisis teknikal untuk menentukan waktu yang tepat dalam membeli atau menjual saham. “Itu kenapa pemodal perlu memahami beberapa indikator analisis teknikal yang sederhana, seperti moving average, MACD, RSI, dan stochastic,” tutur Billy.
Dia mengaku terinspirasi dengan gaya Darvas dalam analisis teknikal. Teori Darvas sangat unik, karena bisa mencetak untung justru ketika harga saham sedang naik tinggi. Selain Darvas, Billy menyukai teori-teori investasi Warren Buffet. “Saya mulai berinvestasi saham sejak 2002. Sampai saat ini sudah gain sekitar 4.000%, karena terbantu juga dengan kondisi pasar yang bullish pada 2009-2010,” kata Billy.
Hadapi Bearish
Bagaimana berinvestasi saat pasar bearish (tren turun)? Billy selalu memegang teguh filosofi It’s better to lose momentum than lose
a money (lebih baik hilang kesempatan daripada uang). Saat tren pasar turun seperti saat ini dan tidak yakin rebound, maka lebih baik pemodal menunggu sampai indeks saham kira-kira mendekati level bawah. Artinya, tidak perlu menyesal bila indeks kemudian naik, sementara kita belum ikut beli.
Perhitungan itu harus dilandasi beberapa indikator analisis teknikal. Jika beberapa indikator tersebut benar-benar memberi sinyal balik arah (reversal), pemodal baru masuk pasar dengan percaya diri. “Tidak penting Anda salah atau benar di pasar. Yang paling penting adalah bagaimana Anda mencetak untung dan mengurangi risiko kerugian secara benar,” ujar Billy.
Dia mengaku sempat mendapat ujian berat pada 2008, saat krisis finansial melanda bursa saham di dunia, termasuk Bursa Efek
Indonesia (BEI). Namun, dia berhasil menciptakan formula baru dalam analisis teknikal bernama weighted technical analysis (WTA). Billy pun selamat dari kejatuhan indeks harga saham gabungan (IHSG) pada Oktober 2008. Ketika itu, dia memprediksi bahwa IHSG bakal strong bearish bila dihitung melalui metode WTA. Analisis teknikal tersebut tidak hanya memperhitungkan faktor moving average convergence divergence (MACD), relative strength index (RSI), William %R, dan stochastik oscilator, WTA juga memasukkan indikator kunci lainnya. Dengan begitu, WTA berbeda dengan analisis teknikal lainnya dan WTA memiliki akurasi maksimal 70%.
“Ketika itu, pada Juni 2008, saat indeks 2.500, semua analis memprediksi indeks bakal 3.200. Tapi, saya melihat hampir semua
indikator terutama MACD menunjukkan strong bearish dan tinggal menunggu berita negatif. Lalu, saya putuskan untuk keluar dari market,” jelas Billy penuh semangat.
Keputusan Billy yang sempat ditentang, ternyata terbukti. Bangkrutnya Lehman Brothers memicu jatuhnya indeks saham yang mengakibatkan sebagian besar investor rugi besar. IHSG anjlok hingga ke level 1.000-an. Namun, ketika muncul kabar bahwa indeks bisa jatuh ke level 850, Billy tidak percaya, karena indeks bakal rebound lagi. “Saya masuk pasar lagi ketika indeks di level 1.100-an. Meski esoknya turun ke 1.089, tapi saya yakin, saya masuk di saat tepat. Dan, sejarah membuktikan, level 1.100-an merupakan titik yang sudah dekat dengan level bottom,” ungkapnya.
Billy sangat antimargin, karena tidak rela keuntungannya tergerus akibat kalah margin. Dia juga banyak mengoleksi saham-saham
blue chip. Dia pun cukup pandai mengelola kerugian dan potensi keuntungannya di saham. Pada saham-saham blue chip, dia membatasi cut loss sekitar 5% dari harga beli. “Kalau sudah turun 5%, sebagian dana harus keluar. Kalau sudah 8%, semuanya. Soalnya kalau sudah 10%, orang maunya di hold dan kemungkinan bisa turun terus itu pasti ada,” tuturnya. Namun, kalau untuk saham lapis kedua dan ketiga, Billy akan menjualnya bila harganya turun sebesar 3% dari perkiraan harga tertinggi. “Jangan serakah juga. Kita tidak bisa beli di harga yang benar-benar di bawah atau jual di harga atas. Bandar saja juga tidak bisa,” kata dia sambil tersenyum.
Belajar Sejak Belia
Billy lahir di Lampung pada 8 Juni 1992. Ayah Billy, Budiman Candra (43), pernah bekerja di PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF). Awalnya, pada 2002, saat Billy masih duduk di kelas V SD di Serpong, ayahnya mendapat jatah ratusan lot saham INDF dari program employee stock option plan (ESOP).
Namun, karena kesibukan ayahnya, Billy diminta untuk mengamati pergerakan INDF di layar TV. Dia pun mengaku merasa bingung
dengan naik turunnya harga INDF, yang ketika itu masih berada di level Rp 800. Lalu, kebingungan Billy menimbulkan sejumlah
pertanyaan. Lama-kelamaan, dia mulai paham.
Saat usianya baru 10 tahun, Billy mulai tertarik dengan saham. Kebetulan, pamannya kerja di suatu perusahaan sekuritas. Setelah
belajar selama dua bulan, dia akhirnya ingin mencoba masuk pasar, meski niat itu terasa aneh bagi anak seusianya.
Modal awal diperoleh dari ayahnya. Ketika itu, dia hanya mengandalkan feeling.
Akibatnya, meski pasar sedang bullish, Billy malah rugi 93% dalam kurun waktu dua tahun, sejak 2002-2004. “Saat itu, saya sadar
bahwa investasi saham tidak bisa mengandalkan feeling. Karena itu, saya belajar analisis fundamental dan teknikal. Analisis
tersebut sangat penting bagi investor pemula,” ujar Billy.
Sumber: Investor Daily